Rumah berpagar kelabu itu baru saja ditinggalkan pemiliknya beberapa minggu yang lalu. Dan karena suatu alasan, rumah kosong itu sudah menimbulkan kesan angker.


Bayangkan. Rumah satu lantai itu halamannya dinaungi oleh sebuah pohon mangga yang besar dan berdaun lebat. Lalu pagarnya dihinggapi tanaman merambat, dan dindingnya dirayapi oleh lumut hijau. Kalau siang hari sih kesannya asri dan teduh, apalagi melihat bagian-bagian rumah itu (selain yang baru saja kusebutkan, tentunya) yang jauh dari kesan tidak terawat.


Tapi kalau malam hari, brr. Gelap. Sangat gelap. Bahkan untuk lewat di depannya saja membuatku merinding. Bikin aku jadi kepikiran: jangan-jangan ke’angker’an seperti ini yang membuat penghuninya pindah? …Ah, konyol! Atau, mungkinkah…?


Dan seperti halnya malam ini, ketika (lagi-lagi) aku harus melewati jalan di depan rumah tersebut. Kalau boleh memilih sih, aku ogah lewat sini. Mendingan lewat jalan lain.


Masalahnya, ’jalan lain’ itu tidak ada. Rumahku kebetulan berada di ruas jalan buntu yang hanya dapat diakses dari satu ujung saja. Dan rumah angker itu, sialnya, berada di ruas jalan yang sama.



Aahh! Sial! Kenapa juga di tengah malem begini aku mesti ke rumah Didi buat ngembaliin buku tugas yang aku pinjem minggu lalu?! (Oke, aku memang salah karena udah minjem sesuatu tapi lupa ngembaliin. Tapi kenapa tu anak ngingetinnya MALAM INI?!!)


Tapi, yah, mau bagaimana lagi? Aku pun terpaksa mengayuh sepedaku menuju rumah Didi, teman sekelasku yang tinggal di seberang perumahan. Dan mau tak mau, aku harus melewati rumah angker itu.


***


Mau tahu apa yang terjadi selanjutnya? Tolong, jangan tanya detilnya. Karena yang bisa kuingat hanyalah diriku yang berteriak seperti banci setelah melihat sesosok makhluk yang mengerikan: rambutnya panjang dan berantakan, mengenakan gaun putih panjang, dan ia melompat dari atas pagar rumah angker itu!


Dan saat ini Didi sedang menertawaiku gila-gilaan karena cerita tersebut. Cerita yang kusampaikan dalam keadaan basah kuyup oleh keringat ketakutan.


… dan aku pun balik menyerapahinya.


***


Keesokan paginya, ketika aku berangkat ke sekolah, lagi-lagi aku melewati rumah itu. Brrr, nggak ada lagi yang perlu diceritain. Aku harus cepat-cepat menyingkir sebelum aku ketemu makhluk yang aneh-aneh lagi.


***


Malam ini, Didi rewel lagi. Buku catatan yang kupinjam darinya dua hari lalu, dia minta untuk dikembalikan. Soalnya besok ada ulangan dan materinya ada di buku itu. Karena sudah selesai kusalin dan kupelajari, aku sih ho-oh aja. Tapi masalahnya, ”#$*#&! Kenapa kamu baru minta jam segini!!?”


”Hehe, sorry. Habis, baru inget sih,” jawab Didi enteng.


Dan aku sudah benar-benar berniat membuat keributan dengan sumpah serapah yang tidak pantas, kalau saja aku tidak ingat sekarang sudah jam setengah duabelas malam!


Dengan setengah hati yang penuh dongkolan, akupun kembali mengayuh sepedaku.


Namun belum puas aku mendongkol, tiba-tiba aku melihat sesuatu agak jauh di depan sana: di depan rumah angker itu, seseorang, rambut panjang menutupi muka, gaun putih menyampir tanah, -


IYAAUW…! Kuntilanak itu lagi!!! TIDAAAK!!!


”Heeey, tungguuu…!” seru si Kunti ketika aku mabur di hadapannya. Aku tidak peduli walaupun suara itu terdengar seperti suara seorang gadis yang sangat manis. Hiiy!


Dan aku tidak akan berhenti mengayuh sepedaku kencang-kencang…


… kalau saja ban sepedaku tidak melindas batu besar di tengah jalan- [DHAKK!] …


… dan membuatku terpelanting jatuh ke jalan beraspal…


[GUBRAKK!]


Oww…!


Usai meratapi luka berdarah di dengkulku, aku menatap ke arah jalan yang tadi kulalui-


Dan makhluk menyeramkan itu mulai mendekatiku dengan cepat! Tiba-tiba rasa sakit di dengkulku menghilang, berganti dengan rasa panik yang dibarengi dengan keringat dingin di sekujur tubuhku.


Komat-kamit aku melancarkan berbagai doa. Lalu kututup mataku, berharap ini semua hanya mimpi dan ketika nanti aku membuka mata, aku akan terbangun di atas kasur empukku yang nyaman.


Tidak! Semua itu sia-sia! Aku membuka mataku, dan Kuntilanak itu sudah berada persis di hadapanku! Bahkan tangannya yang dingin sudah menggenggam pundakku!! HYAAAAAAAaaaaaa…………!


…ehh???


Tapi….


Tunggu dulu..!


Sejak kapan Kuntilanak BERKACAMATA?!


”Dhani…! Kamu nggak pa-pa?!”


”CHERYL?!!” seruku dengan raut wajah orang bego.


***


Hhhh….


Dan hadirin sekalian, mari kuperkenalkan: Sang ”Kuntilanak”, Cheryl. Seorang gadis biasa (bukan hantu, setan, atau semacamnya), juga teman sekelasku, yang tempat tinggalnya cukup jauh tapi entah kenapa bisa berada di sini. Ia adalah anak cewek anggota klub teater yang perilaku dan pikirannya agak eksentrik. Mau tahu alasannya?


”Kamu tinggal di rumah kosong ini, menyamar jadi hantu, cuman buat ngedalemin peran?!” seruku memastikan.


” ’cuman’ katamu…?” sahut Cheryl dengan raut manyun. ”Ini namanya PENGHAYATAN PERAN. Esensi terpenting dari sebuah penampilan teater!”


”Heh, dan menakut-nakuti orang juga bagian dari ’penghayatan’ itu?” cibirku.


”Kalau orang-orang takut pada penampilanku yang seperti ini, berarti aku sukses memerankan karakterku,” jawabnya mantap. Kata-katanya mungkin terdengar aneh dan tidak masuk akal, tapi percaya atau tidak, tatapan matanya menunjukkan kalau ia sangat serius. Sekarang paham kan, mengapa aku menyebut Cheryl itu ’eksentrik’?


”Jadi, selama dua malem ini kamu ’nyepi’ di sini buat persiapan pementasan?” ujarku sambil memandangi interior rumah kosong tempatku dan Cheryl sekarang berada. Benar-benar nyaris gelap gulita dan hanya diterangi oleh beberapa batang lilin. Sementara itu, Cheryl mengobati luka lecet yang ada di lutut dan pergelangan tanganku dengan obat-obatan yang dibawanya. Katanya sih, buat jaga-jaga kalo ada kecelakaan pas latihan adegan Kuntilanak lompat pagar (inget gak, sama kejadian kemarin malam waktu aku ngeliat Kunti yang lompat dari pagar?)


”Begitulah. Emangnya Yayangku nggak ngasih tau?” sahut Cheryl.


”Si Didi? Ngasi tau apa?” aku balik bertanya.


BTW, Didi dan Cheryl itu sebenernya pacaran. Makanya Cheryl selalu memanggil sohibku itu dengan sebutan ’Yayang’. Mesra sekali. Tapi apakah aku cemburu? Sayangnya tidak. Cewek nyentrik sejenis Cheryl jauh dari tipe cewek idamanku.


”Aku sempat ngasi tau Yayang kalo aku lagi latihan peran di rumah kosong milik sepupuku yang ada di deket rumahmu. Maksudnya biar dia gak bingung kalo nyariin aku gitu,” sahut Cheryl kemudian.


”Bahkan kemarin, waktu aku ngeliat kamu ngibrit gara-gara aku, aku juga langsung telpon dia biar ngasi tau kamu. Emangnya dia gak ngomong apa-apa?”


Tiba-tiba aku teringat waktu kemarin di rumah Didi. Waktu itu, tu anak ketawa kepingkal-pingkal sampe gelesotan di lantai pas denger ceritaku. Aku kira itu gara-gara dia gak percaya. Rupanya, dia tahu kalo ceritaku itu bener dan yang dia ketawain tu reaksiku yang ketakutan setengah mati. Aku bener-bener dikerjain….


***


Seperempat jam kemudian, aku pun pamit pulang. Iya, pulang. Ke rumah. Bodo amat sama buku catatan Didi yang belum kukembaliin. Biarin aja besok dia ulangan nggak belajar. Salahnya ngerjain aku. Wee!


”Omong-omong kamu nggak pa-pa sendirian di tempat begini?” tanyaku sebelum aku mulai mengayuh sepedaku yang, untungnya, masih baik-baik saja.


”Tenang aja. Suplai makanan cukup, sleeping bag juga udah ada,” sahut Cheryl santai.


… bukan itu maksudku! Ah, sudahlah, dasar cewek aneh. ”Kalo gitu aku tinggal dulu ya. Entar kalo ada apa-apa, kamu tahu nomor telpon rumahku kan?”


”Beres!”


”Ya udah. Bye!”


”Bye!”


***


Dan begitulah. Semuanya berjalan baik just fine. Pagi tadi si Didi memuntahkan sumpah serapah abis-abisan gara-gara aku nggak ngembaliin catatannya, sementara aku sendiri cuman cengar-cengir sambil bilang, ”Rasain! Makanya jangan suka ngerjain temen!” Hehehe.


Dan siang ini, rumah itu pun sudah tidak terasa seangker sebelumnya. Pagarnya yang dililiti tanaman merambat, tamannya yang teduh dinaungi pohon mangga yang subur, lalu tembok yang sebagian kecil sisinya ditumbuhi lumut hijau yang nampak segar. Benar-benar rindang dan asri. Mungkin aku cuma paranoid waktu berpikir rumah itu bener-bener angker.


Sambil mengayuh sepedaku melewati rumah kosong itu, sesaat aku melongok ke dalam jendelanya. Samar-samar kulihat bayang-bayang seorang wanita berambut panjang. Pasti itu Cheryl yang lagi latihan buat pementasan klub teaternya. Entar mampir ah!


***


Di saat yang sama, ponsel Cheryl berdering. Pada layarnya terpampang tulisan: Yayang_HP.


”Ya, hallo?”


”Hey, Say. Lagi ngapain?”


”Lagi latihan. Ada apa sih?! Ngerusak penghayatan aja!”


”Ehehe, sorry. Aku mo minta tolong diajarin soal trigonometri yang kemaren. Abis susah banget!”


”Ya udah, ke sini aja.”


”Sekarang nih?! Thanks! Kamu latihan di mana? Di rumah kosong punya sepupumu itu?”


”Nggak. Sekarang aku lagi latihan di gedung aula sekolah….”




Article Directory: http://www.sumbercerita.com